Skip to main content
Mahasiswa Idialis atau Idialis Mahasiswa
Tulisan ini bukan untuk mempropokasi atau ingin menyudutkan, tapi murni tulisan ini merupakan hasil dari sebuah perenungan yang mendalam dari sebuah pergulatan. Seperti yang pernah dikatakan seorang teman kepada saya "tidak ada mahasiswa idialis saat ini, yang ada hanya Idialis mahasiswa". Saya sendiri tadinya tidak setuju dengan apa yang dikatakan teman saya ini, tapi sebuah fenomena dan bukti empiris yang dapat kita amati menunjukan hal tersebut. Kalau kita mau mengadakan penelitian di DPR, mungkin hampir mendekati 60 % anggota dewan dikala mahasiswanya merupakan para mahasiswa yang menyuarakan idialisme, berorganisasi, demontrasi bahkan menggugat sistem. Tapi apa yang terjadi setelah mereka ada didalam system, mereka bahkan lebih memperparah kerusakan system itu sendiri yang dulunya mereka gugat. Lantas kemanakah idialisme mereka dahulu?. Jawaban untuk pertanyaan diatas sangatlah sederhana. Idialisme adalah sebuah metode untuk menawarkan diri bagi mereka. Dunia mahasiswa adalah sebuah moment yang tepat untuk mempromosikan diri dan berpura-pura berprilaku idialis merupakan metode advertising yang ampuh agar kita dikenal, diperhitungkan dan tentunya menjadi sasaran untuk direkrut kedalam system. Ini bukan isapan jempol. Sebagai bukti dahulu ada seorang mahasiswa vocal berdiri pada front terdepan dalam menggugat orde baru dengan beringinnya, bahkan ia-lah yang dengan lantang mengatakan agar beringin dibabat tuntas. Tapi apa lacur ketika beringin menawarkan kenyaman yang menggiurkan kepadanya. Ia berkata "beringin sekarang berbeda dengan beringin dahulu, beringin sekarang memiliki visi meneduhkan bagi bangsa ini kedepan". Kemana idialisme yang dahulu ia teriakan?. Inilah yang oleh teman saya (tentunya sangat idialis yang merasa sedih karena perjuangannya dimasa kuliah untuk memperjuangkan reformasi justru menjadi boomerang. Tidak ada perbaikan yang signifikan pada bangsa ini bahkan justru semakin tidak menentu dan rakyatlah yang menjadi korbanya), disebut "Idialis Mahasiswa", yaitu mahasiswa yang tahu memanfaatkan moment untuk mempromosikan diri dan memetik hasilnya disaat yang tepat. Dunia mahasiswa adalah dunia gejolak, dimana semangat diri terus berkobar. Berteriak, demontrasi, menggugat dan menghujat merupakan sebuah pekerjaan wajib sepertinya bagi mahasiswa dalam wilayah peran mereka sebagai agent of change (bahasa elitenya). Tapi benarkah peran itu disadari secara kaffah atau jangan-jangan hanya menjadi alat pemasaran diri?. Mahasiswa idialis tidak akan pernah lupa akan apa yang ia yakini dan itu tertanam dalam sanubari mereka sampai kapanpun, menjadi idiologi mereka yang tidak tergadaikan. Tapi idialis mahasiswa? Tentunya ia tahu untuk apa ia melakukan apa yang ia lakukan secara matematis ekonominya. Untung dan rugi tentulah telah diperhitungkan dengan seksama dan tentulah telah pula memperhitungkan gold yang ingin dicapai dengannya. Mahasiswa idialis atau idialis mahasiswa merupakan dua saudara yang berbeda tujuan akhirnya. Mahasiswa idialis bukannya tidak ada, tapi idialis mahasiwa tentulah tidak sedikit keberadaanya, yang terpenting bagi kita adalah berkaca apakah kita akan menjadi mahasiswa idialis atau idialis mahasiswa? Dan hal tersebut hanya hati nurani kita yang tahu. Untuk itu saran saya kepada teman-teman yang berjiwa bergejolak "jujurlah kepada hati nurani kita atas apa yang ingin kita perbuat, jangan menjadi pendusta bagi bangsa ini, cukuplah generasi sebelum kita melakukan pembohongan public terhadap bangsa ini, janganlah kita terus mengulang sejarah yang telah pernah diturehkan". To be the true Agent of Change or The story is Back to us.
From : http://fai.elcom.umy.ac.id/mod/forum/discuss.php?d=47

Popular posts from this blog

Dialogue with Cardinal Jean-Louis Tauran and Abdurrahman Wahid

It's Just Not War, But Also Security Justice Jakarta-thewahidinstitute.org. When explaining the role of Indonesia as a moderate Muslim world axis, KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur talked a lot about pace NU, the largest religious organization Fatherland, in the basic formation of the Indonesian state. Former Chairman of the NU was also told how the NU and national figures in the early days of independence membincang Islam and national issues in a serious and profound. Discussions took place between Haji Oemar Sahid Tjokroaminoto and two cousins KH and KH Hasyim Ash'ari A Wahab Chasbullah, two of the NU. These discussions usually take place Bakda Noon and end before sunset. Besides the three, Sukarno, later became Indonesia's first president and also Kung Sahid law, is also involved in it. In NU Congress in 1935 in Banjarmasin, NU held that no duty of Muslims to establish an Islamic state. This attitude was later strengthened Proklamsi formulation of Pancasila an
Making money consciously Contributing social value is the primary strategy for making money consciously, but by itself it’s still not enough. The problem with social value is that your personal values won’t perfectly align with the social consensus. I’m sure that if everyone on earth were like you, the demand for certain products and services would shift dramatically. For example, if everyone were like me, fresh fruits and vegetables would have even higher social value, while factory farming would have none whatsoever.When you attempt to provide social value without achieving congruence with your personal values, your motivation will be very weak. You won’t be inspired because you’ll be doing what you feel you should do, but not what you want to do. I often see this happen with people who jump into blogging on a topic they think will make them a lot of money, only to give up after a few months because they can’t stomach it any longer. Please don’t do this to yourself.Alternatively, wh
Economic Note 03Sep02 Kahlil Rowter with statistical assistance by Yulia Ansari The Jakarta Stock Market: Regional Influence Regional stock indices movements are commonly used as explanation for swings in the Jakarta market. Not all the time, mind you, only when the directions are similar. Conversely when the direction differs domestic reasons are then invoked. How other market indices influence one’s own can be attributed at least to two factors. First, when a few markets are lumped together, a rising index in one member means an automatic price re-evaluation of the others. Second, rationale for changes in one member’s affects other members through contagion. For example: if Korea’s index declines due to concerns over a slowing US economy, then a similar rationale should also affect Taiwan. From a statistical point of view, the interesting question is does movements in regional indices affect the JCI? If the answer to the first question is yes then we can ask next do the regional indi